Pernyataan Kontroversial DPRD Pringsewu Soal Dugaan Galian C, Warga dan Pelaku Jasa Cetak Sawah Membantah

 

Pringsewu, Sepuluh detik.Id, – Pernyataan Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Pringsewu, Suryo Cahyono, kembali memantik perdebatan publik. Dalam sebuah sidak yang ia lakukan di Kecamatan Pagelaran Utara, Suryo menuding ada praktik galian C ilegal yang merusak infrastruktur pertanian. Tuduhan itu tidak hanya diarahkan pada pihak pelaku di lapangan, tetapi juga kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Pringsewu yang dianggap telah “berbohong” dalam memberikan keterangan resmi.

Bacaan Lainnya

“DLH menyampaikan kegiatan ini untuk kepentingan pertanian. Faktanya di lapangan justru merusak fasilitas pertanian, termasuk siring irigasi yang sudah lama dimanfaatkan masyarakat,” kata Suryo, seperti dikutip dari beberapa media online yang menayangkan hasil sidaknya. Ia juga menekankan agar aparat penegak hukum turun tangan. “Saya minta Satpol PP dan kepolisian segera menutup aktivitas ilegal ini. Jangan sampai masyarakat dirugikan hanya karena segelintir orang mencari keuntungan pribadi,” tambahnya.

Namun, cara Suryo menyampaikan tuduhan itu justru menimbulkan resistensi di tingkat akar rumput. Sejumlah pelaku jasa cetak sawah menganggap pernyataan Suryo bukan saja keliru, tetapi juga tergesa-gesa, bahkan menyinggung etika sebagai wakil rakyat.

“Yang dilihat itu adalah proses cetak sawah. Memang saat pengerjaan terlihat seperti galian karena belum dirapikan, tetapi tujuan akhirnya untuk menjadikan lahan daratan menjadi sawah produktif,” jelas Dedi, pelaku jasa cetak sawah asal Pekon Banyuwangi.

Ia melanjutkan, “Sawah yang tadinya tidak produktif bisa dimanfaatkan kembali. Dengan begitu, hasil panen petani meningkat. Bukankah itu bagian dari program Presiden untuk mewujudkan swasembada pangan?”

Dua pelaku lainnya menambahkan, pernyataan Suryo terkesan fitnah karena tidak melalui konfirmasi. “Tidak ada upaya konfirmasi ke kami maupun masyarakat sekitar. Namun, beliau sudah seenaknya menjustifikasi seolah-olah kami melakukan kesalahan,” kata mereka.

Kritik terhadap sikap Suryo juga datang dari warga setempat. Menurut beberapa saksi, kedatangannya ke lokasi disebut tidak mengedepankan etika komunikasi publik. Suryo datang, mengambil dokumentasi foto, lalu pergi begitu saja tanpa dialog. Bahkan, ketika ditanya identitasnya, ia disebut menjawab, “Untuk apa kamu tahu nama saya.” Bagi warga, jawaban itu tidak hanya mengejutkan, tetapi juga menyinggung rasa hormat mereka terhadap pejabat publik.

Sukir, warga lain, menegaskan bahwa aktivitas jasa cetak sawah sama sekali tidak mengganggu kehidupan masyarakat. Justru sebaliknya, ia menyebut, masyarakat terbantu karena tanah liat dari hasil cetakan sawah bisa digunakan untuk membuat batu bata dan genteng. Ribuan warga di Kecamatan Banyumas dan Pagelaran Utara, lanjutnya, menggantungkan hidup pada industri tersebut. “Selain lahan bisa dijadikan sawah, tanah liatnya pun bermanfaat untuk usaha lain,” ucapnya.

Bantahan warga semakin menguat ketika isu kerusakan irigasi diangkat sebagai bukti “perusakan”. Sejumlah masyarakat menilai klaim itu tidak tepat. Mereka mengatakan saluran irigasi di sekitar lokasi memang sudah lama terbengkalai, ditumbuhi tanaman liar, hingga akhirnya ambrol dengan sendirinya. “Bukan karena cetak sawah, tapi karena memang irigasi sudah lama terbengkalai,” kata seorang warga.

Dalam konteks tata kelola publik, kasus ini memperlihatkan bagaimana relasi antara wakil rakyat, dinas teknis, dan masyarakat bisa meruncing hanya karena miskomunikasi dan absennya verifikasi. Pernyataan seorang anggota DPRD semestinya mengandung kehati-hatian karena setiap kata memiliki implikasi hukum maupun sosial. Ketika tuduhan dilontarkan tanpa konfirmasi, efek yang timbul bisa menyerupai stigmatisasi, yang bukan hanya merugikan pelaku usaha tetapi juga menciptakan kegaduhan di masyarakat.

Etika politik seharusnya mengajarkan prinsip keterbukaan, verifikasi, dan penghormatan terhadap masyarakat. Seorang wakil rakyat yang melakukan inspeksi lapangan wajib memperkenalkan diri, membuka ruang dialog, serta mendengar keterangan dari semua pihak sebelum mengambil kesimpulan. Langkah itu tidak hanya menjaga marwah lembaga legislatif, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik terhadap representasi politik.

Pada akhirnya, kontroversi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah yang dilihat Suryo benar-benar praktik galian C ilegal, ataukah sekadar proses jasa cetak sawah yang dimaknai keliru? Jawabannya hanya bisa ditemukan melalui kajian teknis yang transparan. Pemerintah daerah bersama DLH, aparat penegak hukum, dan DPRD perlu membuka ruang verifikasi data secara terbuka. Tanpa itu, publik hanya akan disuguhi klaim sepihak yang saling bertentangan.

Kenyataan di lapangan memperlihatkan, wargak justru merasa terbantu dengan keberadaan jasa cetak sawah. Lahan-lahan yang sebelumnya tidak produktif bisa digarap kembali, panen meningkat, dan ekonomi masyarakat ikut terangkat. Jika benar demikian, bukankah tudingan sepihak justru berpotensi menghambat salah satu agenda nasional: swasembada pangan?.

(Epy)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *